Tahun 2015 silam, saya erkesempatan untuk merasakan pengalaman berada di Jepang sebagai koukan ryuugakusei, atau dalam bahasa Indonesia berarti mahasiswa pertukaran, di Soka University of Japan yang terletak di kota Hachioji, Tokyo. Salah satu hal yang berbeda dari Indonesia adalah di Jepang terdapat liburan musim panas yang waktunya panjang. Dengan waktu libur yang panjang tentu akan sangat sayang apabila liburan hanya diisi dengan berada di dalam asrama. Maka dari itu, saya memutuskan untuk berkunjung ke daerah di sekitaran Tokyo untuk mengisi liburan.
Natsu to ieba, umi da ne.
Musim panas ya pantai.
Entah, mungkin sudah seringkali dicekoki dengan berbagai adegan dalam manga atau anime, sehingga saya dengan mudah mengasosiasikan liburan musim panas dengan pantai. Saya pun mencari tempat wisata di sekitaran Tokyo yang menawarkan panorama pantai, dan akhirnya memilih Kamakura, sebuah kota di Prefektur Kanagawa sebagai tujuan wisata liburan musim panas.
Kamakura tak begitu asing di telinga. Ketika mendengar “Kamakura”, yang terbesit dalam pikiran adalah adegan dalam novel Kokoro karya sastrawan legendaris Jepang, Natsume Soseki, di mana tokoh Aku pertama kali bertemu dengan Sensei di pantai Kamakura. Dari penggambaran Soseki, sebenarnya saya mulai penasaran dengan kota ini sejak sebelum ke Jepang. Pantai Kamakura juga merupakan latar tempat drama yang dibintangi Kento Yamazaki berjudul “Suki na Hito ga Iru Koto”. Bagi kaum hawa pecinta dorama Jepang, pasti tidak asing dengan Kento Yamazaki. Drama tersebut memperlihatkan panorama kota Kamakura, terutama pantai Kamakura dan pulau Enoshima yang begitu menarik hati.
Dari Hachioji, saya naik kereta Chuo Line, yang kemudian dilanjut dengan menggunakan Enoden, singkatan dari Enoshima Densetsu atau Enoshima Electric Railway, yaitu kereta model kuno Jepang yang saat ini difungsikan untuk tujuan wisata kota Kamakura, terutama Enoshima. Di dalam Enoden yang melaju, saya merasa terlempar ke masa lampau karena desain interior yang klasik. Sangat jadul namun tetap menawan hati. Bagai lupa bahwa saya sedang berada di negara Jepang yang notabene sangat modern. Di sepanjang jalan, panorama pantai yang terlihat membuat leher dan kepala bergeming karena tak ingin lepas dari pemandangan tersebut. Kebetulan saya menggemari pantai dan laut, namun belum pernah menemukan panorama pantai seindah pantai Kamakura. Air lautnya biru, sangat biru. Langitnya juga biru, sangat biru.
Saya berhenti di Stasiun Shounankaigankoen, menyeberangi jalan, dan hanya duduk di pinggiran tembok pembatas pantai menikmati pemandangan. Boleh dibilang, selama di Indonesia saya jarang sekali berwisata sendirian. Salah satu faktornya karena alasan transportasi dan keamanan. Namun selama di Jepang saya merasa aman karena jadwal kereta dan bus yang hampir selalu akurat, dan juga tingkat kriminalitas di Jepang yang terhitung rendah. Meskipun tidak menjamin 100%, Jepang merupakan negara yang sangat aman untuk solo-traveller.
Selain pantai, Kamakura juga terkenal dengan berbagai kuil yang sebagian besar merupakan kuil Buddha. Untuk menuju ke sana, saya kembali naik Enoden dan berhenti di Stasiun Kamakura. Arsitektur bangunan stasiun ini juga tak kalah klasik, berbeda dari stasiun-stasiun di Tokyo yang sarat dengan nuansa modern. Dari stasiun Kamakura dilanjutkan dengan naik bus menuju Kuil Hokokuji sebagai destinasi wisataku berikutnya. Kuil Hokokuji merupakan kuil Buddha yang ikonik dengan hutan bambunya. Sangat menyejukkan apabila dikunjungi pada musim panas. Selain Kuil Hokokuji, terdapat berbagai kuil lain yang bisa dikunjungi seperti Kuil Hasedera, Kuil Enkakuji, dan sebagainya. Setelah puas berkeliling kuil, saya pun memutuskan untuk kembali pulang ke Hachioji. Kamakura, kota pantai nan klasik, yang sampai saat ini meninggalkan kesan tersendiri bagi saya.